Habib Sholeh Al-Jufri, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Musthofa, Solo
Habib Sholeh Al-Jufri termasuk generasi pertama santri-santri dari Indonesia yang dididik oleh Habib Umar Al-Hafidz di Darul Musthofa, Tarim, Hadramaut. Ia terkenal sebagai penerjemah yang handal dari Surakarta.

Itulah Habib Sholeh bin Muhammad
Al-Jufri, selama ini memang lebih banyak dikenal sebagai penerjemah
handal, khususnya bagi tamu dari Timur Tengah. Habib Sholeh Al-Jufri,
demikian kerap para muhibbin memanggil habib kelahiran Surakarta, 30
September 1970. Selain dikenal sebagai penerjemah, ia juga mengisi
kegiatan sehari-hari sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Darul Musthofa di
Desa Salam RT 01/03, Kecamatan Karang Pandan, Kabupaten Karanganyar,
Jawa Tengah.
Masa kecil Habib Sholeh banyak dididik
oleh kedua orang tuanya di Surakarta. Selain itu, sang ayah juga
mengundang guru mengaji ke rumah. Sehingga pendidikan dari sejak masa
kanak-kanak sampai usia remaja, telah nampak sosok pada Habib Sholeh
menjadi seorang dai. Selain itu, ia juga mengikuti pengajian di zawiyah
Habib Anis Al-Habsyi di Gurawan, Solo, mulai
1985. Saat menginjak kelas dua SMP, ia sudah bergabung dengan ahli-ahli
dakwah keliling keluar kota seperti berdakwah ke daerah Tapanuli,
Padang, Lampung, bahkan sampai ke luar negeri, seperti ke Singapura,
Malaysia, Brunai dan lain-lain. Saat itu, ia bergabung dengan para dai
yang ada di kota Solo seperti Ustadz Abdulrahiem, H Ikhwan, H Dimyati, H
Jamil, dan lain-lain.
Pada tahun 1990, ia berkesempatan
berkunjung ke India dan Pakistan untuk berziarah sekaligus bertemu
dengan para alim ulama yang ada di dua negeri. Ketika di Pakistan itulah
ia bertemu dengan salah seorang ustadz dari Yaman. Pada waktu itu Habib
Sholeh belum lancar benar berbahasa Arab, dan akhirnya ia memakai
pengantar bahasa Inggris dan bercakap-cakap dengan ustadz dari Yaman
itu. Ternyata setelah berkenalan, ustadz dari Yaman itu mempunyai sebuah
madrasah dan menawari Habib Sholeh untuk sekolah di di Yaman Utara.
Akhirnya sepulang dari Pakistan, ia semakin bergiat dengan
persiapan-persiapan untuk berangkat ke sana. Pada akhir 1993 ia baru
mendapat ijin dari orang tua untuk berangkat seorang diri ke Yaman
dengan berbekal sebuah alamat dari seorang ustadz yang dikenalinya di
Pakistan.
Sampai di Yaman ia langsung menuju alamat
yang dipegang dan setelah mencari sebentar, akhirnya ia menemukan
alamat tersebut. Di tempat tersebut, Habib Sholeh belajar pada Habib
Musa Kadhim Assegaff dan Habib Abdurahman bin Hafizh (keponakan Habib
Umar). Melalui kedua gurunya itulah, Habib Sholeh mengetahui kalau Habib
Musa Kadhim dan Habib Abdurrahman adalah murid dari Habib Umar
Al-Hafizh, sehingga timbul dalam hatinya untuk belajar pada Habib Umar.
Ia akhirnya mendapat ijin belajar pada Habib Umar di Hadramaut. Ketika
ia akan berangkat ke Hadramaut, tenyata di Yaman sedang terjadi perang
saudara antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. “Waktu itu, kita bisa
melihat peluru dan bom yang berseliweran di atas kepala. Apalagi saat
itu cuaca sedang cerah karena musim panas yang luar biasa. Akibatnya
kita tidak bisa tidur di dalam kamar, karena estalase listrik juga mati
(habis). Mau tidak mau, kita tidur di atas bangunan (atap rumah).
Alhamdulillah saya berada di tempat itu dan dalam keadaan aman. Baru
ketika dipastikan keadaan Yaman sudah aman betul, saya baru bisa
berangkat ke Hadramaut,” katanya.

Kesan Tarim
Hari-hari di Darul Musthofa, Tarim
dilalui dengan indah oleh Habib Sholeh. Setiap hari, waktu dimanfaatkan
benar untuk belajar dan mengkaji ilmu agama. Apalagi keinginanannya
untuk menguasai bahasa arab secara mendalam, dapat diperoleh di Rubath,
yang terkenal telah menghasilkan ratusan ulama dari berbagai belahan
dunia itu.
“Saya sangat terkesan sekali di Darul Musthofa.Walau dari kecil saya mengembara dakwah dengan para ustadz senior saya di Surakarta, dalam hati saya masih ada celah kekosongan. Itu semuanya saya peroleh di Darul Musthofa. Habib Umar duduk di situ, istilahnya bathin saya sangat terpenuhi dengan ilmu dan kerohanian dari Habib Umar,” katanya.
“Saya sangat terkesan sekali di Darul Musthofa.Walau dari kecil saya mengembara dakwah dengan para ustadz senior saya di Surakarta, dalam hati saya masih ada celah kekosongan. Itu semuanya saya peroleh di Darul Musthofa. Habib Umar duduk di situ, istilahnya bathin saya sangat terpenuhi dengan ilmu dan kerohanian dari Habib Umar,” katanya.
Uniknya, selama belajar di Darul
Musthofa, ia banyak sekali mendapatkan keajaiban-keajaiban yang
ditemukan baik secara lahir maupun bathin. Setiap kali ia punya
permasalahan-permasalahan dan pertanyaan-pertanyaan di hati, kalau tidak
mendapat jawaban dari Habib Umar dengan lisan, akan terjawab lewat
mimpi. “Sehingga sembuh kalau ada keraguan atau yang bingung terpenuhi
di antaranya lewat mimpi. Ini sungguh luar biasa bagi saya. Seperti
tanah yang kering kemarau sangat lama, kemudian terkena hujan,” kata
Habib Sholeh.

Selama di Tarim, banyak sekali kenangan
indah yang selalu menyertainya. Tarim menurut Habib Sholeh, memiliki
adat yang luar biasa dan sudah terbentuk oleh salaf ratusan tahun yang
lalu. “Saat Ramadhan dimaksimalkan untuk hari ibadah. Di mana di Tarim
sudah menjadi tradisi untuk menghidupkan suasana malam yang luar biasa,
jarang ditemui di negeri –negeri lain,” kenangnya. Keistimewaan Tarim
lainnya, kata Habib Sholeh, kota para wali ini merupakan sebuah madrasah
yang besar bagi siapa saja yang datang dan mengambil ilmu. ”Tarim
adalah sebuah kota Kecamatan, tapi kecamatan itu menjadi sebuah Madrasah
yang besar. Bukan madrasah yang kecil dengan yayasan tertentu.
Kecamatan Tarim adalah sekolahan, di situ dibentuk tradisi yang sudah
ratusan tahun,” terangnya.
Di Tarim, ada majelis–majelis taklim dari
pagi sampai malam. Seperti sehabis shalat Subuh di tempat Sayidina
Alaydrus. Habis shalat Dhuha di tempat Mufti Bafadhal dan lain-lain.
”Uniknya, majelis taklim yang ada itu umurnya sudah ratusan dan tempat
majelis taklimnya tidak berubah. Materi yang diajarkan selalu sama dan
kitab-kitabnya selalu relevan untuk menjawab permasalahan-permasalahan
jaman sekarang,” katanya. Orang–orang yang masuk atau ikut majelis bisa
membayangkan, dahulu orang-orang besar (para waliyullah) pernah duduk di
situ, lanjutnya. “Dari Sayidinia Abubakar Syakran, Faqih Muqaddam, dan
lainnya, sehingga timbul suasana haru dan khusyuk bila hadir di majelis
taklim. Demikian pula yang mengajar, karena yang mengajar harus muasis
yang pertama (atau masih keturunan dari pengasuh majelis taklim),”
ucapnya. Wajar ada sebuah pepatah orang Tarim yang berbunyi, “Tarim
adalah guru bagi orang yang tidak punya guru.” Sehingga orang berjalan
di mana-mana tidak akan kebingungan, karena akan bisa ditunjukan oleh
posisi kota Tarim sendiri.
Selama menimba ilmu di Darul Musthofa,
selain belajar langsung dengan Habib Umar Al-Hafidz, ia dan 29 santri
asal Indonesia juga belajar dengan para alim ulama dan keturunan
orang-orang besar yang ada di sana. Waktu itu, memang sistem pelajaran
Darul Musthofa, 50% pelajaran didapat di pondok, dan 50% lainnya belajar
dengan di majelis-majelis taklim. Habib Hasan Syatiri, Habib Salim
Syatri, Habib Abdullah bin Shahab, Habib Mashur Alaydrus, Syekh Fadl
Bafadal, Habib Sa’ad Alaydrus dll. “Habib Umar hanya mendampingi, bahkan
karena sayangnya Habib Umar kepada kita, beliau membawa mobil sendiri.
Kadang kita jalan kaki sampai 5 kilo, dalam suasana panas, dan menembus
gelap malam. Ini merupakan pendidikan mental lahir dan bathin,”
kenangnya.
Kiprah di Solo

Baru pada tahun 1999, medio Juni, ia
bekerja sama dengan teman-teman di Solo mendirikan sebuah pondok
pesantren yang direstui oleh Habib Anis dan Darul Mustofa Tarim. ”Semula
menyewa tempat (di kota Solo). Alhamdulillah pada tahun 1999 dibuka dan
dihadiri oleh para tokoh-tokoh yang ada di Solo seperti Habib Anis
Alhabsyi (alm) dan Ustadz Nadjib Asegaf,” katanya.
Setelah dakwah berjalan, pada tahun 1999
ada donatur yang menawari untuk membeli tanah wakaf. Ia kemudian meminta
saran pada Habib Anis. “Kira-kira, tanah wakaf yang bagus untuk
pesantren di bawah Tawangmangu, tapi letaknya di atas Karanganyar,” kata
Habib Sholeh menirukan Habib Anis. Akhirnya dipilihlah desa Salam,
kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar sebagai tempat pendirian
pesantren. Rupanya, pilihan Habib Anis itu memang tepat dan punya maksud
baik. Karena daerah Karangpandan itu berhawa sejuk, “Kalau daerah
Tawangmangu terlalu dingin, di Karanganyar itu sudah panas. Jadi tidak
perlu selimut kalau malam, dan AC kalau siang. Tempatnya bagus, udaranya
sejuk dan nyaman untuk belajar, itu semua berkah dari Habib Anis,”
terang Habib Sholeh.
Tahun 1999 itu juga akhirnya bisa beli
tanah dan pembangunan baru dimulai pada tahun 2000, yang meletakan batu
pertama adalah Habib Anis Alhabsyi, Habib Muhammad bin Alwi Assegaf.
Setahun berikutnya dibuka oleh Habib Anis dan Habib Umar bin Hafidz.
Saat ini jumlah santri yang menetap di Darul Musthofa (Karangpandan),
berjumlah 50 santri di dalam dan khoriji (di luar) ada sekitar 300
laki-laki dan perempuan. Kurikulum, pendidikan pesantren 95% mengambil
kurikulum Darul Musthofa, Tarim. 5% adalah tambahan penyesuaian dengan
keadaan di Indonesia.Walau Darul
Musthofa Karangpandan itu terhitung masih baru, tapi kedatangannya
mampu memberikan manfaat dan bisa diterima oleh masyarakat. Hal ini tak
lepas dari cara pendekatan dakwah yang dibangun, yakni membangun pola
kemitraan dengan masyarakat setempat.
“Pesantren ikut serta dalam
kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan yang ada di masyarakat, seperti
kegiatan khitanan masal setiap tahun, santunan anak yatim, zakat fitrah,
Idul Adha, dan kita menerjunkan murid-murid ke masyarakat. Sehingga
masyarakat betul-betul merespon,” katanya. Selain itu, di Darul Musthofa
Karangpandan, ia juga mengadakan pengajian rutin mingguan khusus
ibu-ibu. Serta pembacaan Ratibul Haddad tiap selapan (tiap Minggu Pon)
yang dihadiri oleh masyarakat setempat. Menurut Habib Sholeh, tantangan
dalam berdakwah di pesantren justru bukan dari luar, namun secara
prinsip tantangan itu pada diri sendiri. “Asal kita punya niat
bersungguh-sungguh dan semangat yang istiqamah serta ikhlas. Insyaallah
tidak ada tantangan,” katanya.
Dakwah, lanjutnya, haruslah dilandasi
dengan prinsip kasih sayang. Bahkan terhadap orang-orang yang memusuhi
kita pun, wajib kita sayangi karena orang-orang yang memusuhi dakwah itu
karena belum paham. ”Terhadap orang yang memusuhi, kita datangi dan
kasih hadiah. Dengan adanya silaturahim akhirnya mereka dari memusuhi,
paling tidak menjadi pasif. Sampai akhirnya bisa jadi simpatik,” katanya